PELAKOR.
Entahlah saya merasa sebutan ini punya standar ganda. Istilah “dari perempuan untuk perempuan tersebut” diciptakan untuk menyudutkan perempuan. Seolah-olah pihak pria gak punya peran apa-apa.
Apakah ini Propaganda pelakor?
Dimana saat satu orang menciptakan suatu propaganda tentang ini, masyarakat luas pun termakan oleh stigma-stigma negatif yang melekat pada perempuan, apalagi dengan adanya sebutan pelakor ini.
Baru2 ini heboh video tentang pelakor yang dilempari uang karena si istri merasa teman baiknya merebut suami sahnya demi ekonomi. Perempuan pelaku perselingkuhan diumpat, dikatakan tak bermoral, dikatakan hina dan zina, sedangkan si istri sah dikatakan tak bisa menjaga suami dan tak mahir berdandan.
Puas? Tentu saja belum. Agar semakin drama, disebarlah screenshot chat antara keduanya. Sangat jarang dijumpai komentar yang menyudutkan laki-laki yang berselingkuh. Wah enak ya jadi laki-laki jika kasus perselingkuhan muncul. Jika dulu kasus perselingkuhan dianggap aib keluarga yang harus disembunyikan rapat2, lain halnya sekarang yang dengan gampangnya membeberkan di media sosial. Yang penting amarah tersalurkan, malu urusan belakangan. Alasan memberi efek jera dan sanksi sosial juga percuma jika hanya wanita yang menanggung semuanya. Sedangkan si pria, tanpa suara sekuat tenaga ditutup serapat mungkin.
Bagaimana peran media? Bukannya ikut tren, media malah menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah sehingga layak dipersekusi dengan sebutan pelakor. Sebutan pelakor sudah lebih cukup menunjukkan kasus misoginis diantara kaum wanita. Saya menulis ini bukan berarti mendukung perselingkuhan, jika selingkuh itu salah, maka keduanya sama bersalah. Kenapa hanya mempermalukan pihak wanita? Bukankah perselingkuhan ada karena kedua belah pihak yang berperan aktif membangun hubungan yang mengatasnamakan cinta? So?
Oke, saya tau. Wanita adalah makhluk Tuhan yang paling sensitif, mengutamakan hati diatas segalanya. Dengan kesensitifan wanita, si istri terbawa emosi sampai menganiaya secara mental si pelakor. Namun, tanpa sadar tindakan itu bukan simpati, malah menghasilkan antipati. Saya juga wanita, memang saya belum pernah menikah dan saya bisa berbicara seperti ini, why? Nggak semua orang menikah sebagai tujuan hidup.
Rasa-rasanya perjuangan mendiang RA Kartini terasa sia-sia saat wanita indonesia yang beliau dulu perjuangkan malah saling serang, bukannya menguatkan satu sama lain. Ya, mereka ada disekitar kita.