Kamis, 12 Mei 2016

Cerita Pendek (Rumah Kardus di Tanah Emas)

    Aku, si pemuda Ramos berdiri sendiri, tiada berpangku laksana aksara jawa. Sekiranya aku menerima segenggam ijin mengkokohkan bangunan kecil bekas jepang dulu di dekat surau abah Salim. Beliau adalah guru desa, usianya sudah beruban tetapi jika engkau tahu, semangatnya kekar bak baja. Abah Salim bila tergelak tawa sangat menggelikan hati, acapkali anak desa rutin menjenguk abah Salim. Beliau orang jawa asli, mayoritas desa kelahiranku memiliki ras berkulit gelap, berambut ikal, dan berhidung besar. Kata turis kami eksotis, aku belum pernah bertanya pada abah Salim apa makna eksotis.
    Aku sebatang kara, mencari reruntuhan ranting kering untuk ditukar dengan sagu di pasar. Di papua, tempat si Aku dilahirkan kerap dijadikan panutan dunia. Mengembaralah akalku memikirkan si perkataan abah Salim. Aku tak penuhlah mengerti maksud abah Salim petang lalu, yang kutahu hanya merajut hari dengan segenggam sagu. “Ramos, acapkali kau keluar-masuk rumah? Apa gerangan yang terjadi?“ Markus kawanku itu bak terpaku melirikku, sedari tadi aku hilir mudik dari hutan belakang gubuk ke rumah. “Kau kemari sedari kapan? Sekiranya bantu aku memindah kayu ke rumah.“ Kupinta Markus membantuku, tetapi hanya kulihat Markus memilah buah di keranjang rotan. “Aku kesini untuk antarkan sekeranjang buah dari abah Salim. Kata beliau, ini hasil kebun yang merakyat. Oleh sebab itulah abah membagikan hasil kebun ke para tetangga secara cuma-cuma.“
   “Tak pernahlah abah Salim hidup susah layaknya kita. Tak pernah makan sagu-pun, nasi jadilah kenyang. Ikan, daging, sayur selalu ada. Bagaimanalah nasib kita, Kus? makan sagu bekas kemarin asal tak basi itupun sudah bahagia.“ ucapku pada Markus sembari menggotong sekarung kayu bakar di punggungku.     
    Sering kudengar dari TV abah Salim perkara gunung emas tidak jauh jalannya dari desa. Kata media gunung emas bukan mengandung emas saja, sangatlah besar tak terkira gunung itu. Membusung menantang langit, tak sebesar puncak salju Jaya Wijaya memang tetapi pastilah sangat indah gunung emas di seberang desa. “Markus, apa kau tahu gunung emas seberang desa?“ belumlah si Markus menyahut kataku tadi kulanjutkan tanya yang ingin kukeluarkan. Kulihat Markus tergupuh memilah buah di keranjang, tak jarang ia memakan pisang ambon. “Kau belum tau? aku pernah kesana menemani abah Salim, kata abah ingin mengambil pensiunan. Nama tempat abah Salim kerja dulu ya gunung emas itu. Tetapi sebutan terkenal yang sampai negeri paman SAM itu sekarang tinggal poto sajalah, Ramos. Gunung itu jadi cekung setiap jam dikeruk. Bukan emas saja yang tinggal disana, ada pula tambang murni lain.“ Oh pantaslah abah Salim mudah sekali punya uang. Aku terbuai penasaran oleh pekerjaan abah Salim kenyataannya. Beliau pun makan, minum, senangpun dari gunung emas pula.
   “Cekung macam kawah? Bukankah gunung sangat menjulang dan berisi? Apalah jadi jika dikeruk setiap jam? Bukankah negara kita akan kaya, Kus?“
   “Yang mengeruk penjajah masa modern, dia yang genggam hasil keruk emas itu, negara kitapun hanya dibagi secuil, kecil layaknya sebutir garam. Lihat orang kulit putih di seberang desa, pakaian mereka setiap hari elok sekali, wajah mereka bening pula, sepatu mereka layaknya baru dibeli setiap hari. Pikirlah dari emas siapa mereka merawat diri? Aku tak pandai merangkai hidup elok seperti mereka. tak mesti yang hidup bersama uang emas, cukuplah bahagia hidup di tanah emas tapi tak pernah mencopet harta negeri orang.“ kurenungi ucapan kawanku, dia memang lebih pandai dari aku.
    Markus pernah hidup di ibukota selama setahun, itupun sudah mual-mual kapok naik pesawat katanya. Aku masih terpaku pada gunung emas yang jadi kawah. Semestinya aku bangga, hidup berpijak emas, tidur beralas emas. Kini gunung emas bekas cerita empat puluh tahun dulu, menyesalku tak dapat lahir pada waktu itu.
   “Kau tau banyak sekali. Aku paling tak sepintar kau, hanya tau baru saja darimu.“
   “Itu karena di Jakarta dulu aku sempat tinggal bersama mahasiswa fakultas hukum. Mereka kerap bercerita Freeport, gunung emas itu. Penjajah modern sudah melanggar undang-undang negeri kita, Mos.“ kata Markus sembari menggotong keranjang ke dalam rumahku. Aku mengikuti dari belakang.
   “Oh ya, kau tau ucapan Presiden pertama kita Ir. Soekarno dulu sebelum kita lahir?“ Markus bertanya padaku,
   “Tidak, seperti apa ucapan itu?“ aku duduk di tikar kecil pemberian abah Salim. Tidak rusak, tidak kotor pula, memang abah sengaja beli tikar untuk aku.
    “Ucapan Ir. Soekarno tidak dapat dipegang hingga sekarang, kurang lebih beginilah 'Biarkanlah gunung emas kita tetap kokoh berdiri. Tunggulah pemuda generasi bangsa dapat mengolah sendiri.' bung Karno pun pernah digoda oleh rayuan bangsa asing pula untuk mengeksplorasi gunung emas milik kita, tapi beliau teguh pendirian untuk menolak.“
   “Menurutku, bangsa kita ini butuh satu lagi pemimpin yang berjiwa seperti Bung Karno, Mos. Aku mual melihat permainan politik jaman modern. Tak ada habisnya jika dibahas.“ lanjut Markus. Dari jauh abah Salim berjalan menuju kemari. Beliau menenteng sekantong plastik besar entah apa itu, beliau meneriaki kami berdua.
   “Heeiii... ada daging ayam segar! Ramos! Markus! marilah kesini, ayo kita bakar ayam ini, kita santap bersama.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar