Kamis, 12 Mei 2016

Kisah Surat Yang Tak Pernah Sampai

Aku mengais peluh tinta yang kugoreskan dalam balutan kertas putih. Walau ku tahu tak pernah sampai pada pujangga sang penikmat diam, walau kutahu ia akan terbuang, kumal. Aku tak pernah capai pula saat beribu gaya bahasa kucipta untuknya. Dari deduksiku, maupun melalui sarkasme.

Aku si penikmat dalam diam pernah terjatuh dalam keramaian, aku takut, tergugu, namun kutegakkan kepalaku menantang langit, bangkitnya hingga melawan gravitasi.

Hei kau? jika kutanya bagaimana kabarmu, apa kau akan menjawab? walau raut sendu terbingkai di wajahmu? Bukankah aku yang semestinya capai mengelana masa? Memandangmu dari ujung dunia pun kulakukan, namun kau hanya menikmati pendiam ku.
  
Mencintaimu dalam diam tak serumit yang mereka inginkan, ia berusaha semu, namun hati berontak bila tersipu denganmu. Hingga aku tertinggal dalam dunia yang terdistorsi, terlena dengan simpul dirimu yang terbit dan tenggelam bersama mentari. Kau dan mereka berputar, namun tak bergerak. Aku berarak berusaha mengikutinya. Dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung, dari manapun bila memandangmu adalah damai. Hingga kutulis lembar demi lembar jejakku dalam senandung setiap nafas berhembus, saat bibir tak lagi dapat berpinta.

Aku adalah pecundang dalam diam. Yang hanya menulis surat dari jarak luasnya dunia. Aku adalah si penokohan bodoh. Memimpi harapan yang tak pernah lunas. Kini lembaran yang kutulis tertinggal jauh, terjatuh dalamnya palung samudra. Suratku tak dapat bangkit ataupun terbang. Biarlah suratku yang tertinggal mencari seseorang pengharapan, alasan ia ditulis. Dan biarlah ia terpendam masa, terdistorsi seperti yang kulakukan dulu. Terus memendam dirinya sendiri. Karena jika suratku tak pernah sampai, ia akan kembali pada sang penulisnya. Mengadu betapa lelahnya mereka.

1 komentar:

  1. Qaqa.. coba dong bikin cerita yg aliran surialisme.. hehe...

    Cerpen yg ini bagus kok.. meskipun rada bingung juga sih pas bacanya, hehehe

    BalasHapus